Mengenal dan Memahami Sifat-Ragu-ragu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI-online, 2017), kata ragu diartikan “dalam keadaan tidak tetap hati (dalam mengambil
keputusan, menentukan pilihan, dan sebagainya); bimbang” dan “sangsi (kurang
percaya)”. Sementara itu kata “ragu-ragu” diartikan “bimbang; kurang percaya”.
Secara
psikologis, ragu-ragu itu cerminan aktivitas berpikir seseorang yang
membutuhkan waktu relatif cukup lama dari yang seharusnya. Sehingga bagi
peragu, membuat keputusan menjadi hal tersulit dalam hidupnya.
Orang
dikategorikan ragu-ragu menulis manakala ia bimbang atau kurang percaya diri untuk
menulis. Sifat orang peragu itu tidak dapat dilihat secara kasat mata, karena
itu merupakan persoalan hatinya. Akan tetapi perilaku orang yang peragu, tampak
dari “bahasa tubuhnya” dalam merespon dinamika yang terjadi. Ia akan lebih
bersikap menghindar dari persoalan ketimbang mencari solusi.
Sifat ragu-ragu itu bisa menerpa siapa
saja. Tidak mengenal usia, status, posisi jabatan, pangkat, pekerjaan dan
profesi. Demikian juga dalam hal menulis. Keraguan menulis di lingkungan
peneliti ataupun pejabat fungsional lainnya tidak terjadi hanya pada calon peneliti
atau calon penulis. Peneliti senior sekalipun, terkadang masih dihinggapi sifat
ragu-ragu ketika akan menuangkan gagasan dalam karya tulisnya. Itulah karakter
ragu-ragu yang oleh banyak kalangan dikatakan sifat ragu-ragu itu dikatakan sebagai manusiawi.
Penyebab
keraguan pada setiap orang tidak sama. Pada dasarnya faktor yang dapat memicu
keraguan itu dibedakan ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal
yang dominan mendorong orang bersifat ragu-ragu lebih disebabkan karena
karakteristik individu, seperti faktor usia, sikap yang introvert (menutup
diri), kurang gaul, merasa rendah diri, dan sejenisnya. Sementara itu penyebab
eksternal yang dominan menyebabkan keraguan antara lain faktor lingkungan yang
kurang kondusif, dan tekanan pekerjaan yang menuntut kinerja optimal.
Dalam konteks “membuat karya tulis” , keragu-raguan seseorang
umumnya lebih banyak disebabkan karena kurang percaya diri, kehawatiran
berlebihan karena takut dilecehkan, ditertawakan dan banyak alasan lainnya yang
kadang-kadang irrasional.
Beberapa pakar psikologi, memberikan beberapa contoh penyebab
yang membuat seseorang menjadi ragu-ragu (Anonimous, 2016), sebagai berikut:




Karena keraguan itu merupakan keputusan hati, maka untuk
memahaminya juga harus dilakukan individual. Menurut pakar psikologi, untuk
memahami keraguan sendiri dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan: (a)
menyadari dan mengakui keraguan, (b) mempertanyakan keraguan, (c) fokus pada
aspek positif, dan (d) hindari kebiasaan mencari kepastian.
Menyadari dan mengakui keraguan, menjadi salah satu solusi
mengatasi keraguan menulis. Tidak menganggap keraguan menulis sebagai musuh
atau penanda inferioritas. Tetaplah bersikap optimis, sehingga energi yang
terbentuk tetap positif dan kondusif sehingga dapat mengatasi keraguan menulis.
Solusi berikutnya adalah introspeksi, yaitu dengan cara
mempertanyakan keraguan Anda. Awali
penelusurannya dengan mengajukan pertanyaan terhadap diri sendiri:


Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan inti persoalan untuk
memahami kondisi yang terjadi sehingga dapat mengambil tindakan konstruktif ke
depan.
Dalam instrospeksi tersebut, tetaplah fokus pikiran kita pada
upaya untuk memahami apa yang “menghalangi diri ini untuk menulis”. Dengan cara
itu, Anda akan mengetahui keraguan mana yang penting dan beralasan. Jangan-jangan
keraguan itu ternyata tidak terlalu
penting dan tidak serius.
Hindari untuk fokus pada hal-hal negatif, yang tidak menyenangkan. Jika tetap
memikirkan hal negative, Anda akan semakin pesimis ketika harus menyelesaikan
sesuatu. Namun demikian, ada saran bijak dari pakar psikologi:
Jangan mengabaikan hal-hal negatif, namun jangan pula membiarkannya hal negatif itu mempengaruhi pikiran Anda. Setiap situasi pasti memiliki aspek positif yang juga perlu Anda perhatikan.
Ketika suatu waktu mengalami kegagalan membuat karya tulis,
janganlah kegagalan itu dijadikan pembenaran untuk menyatakan menulis itu
sulit. Tidak menggeneralisasi atau terbiasa menarik kesimpulan besar dari satu
hal kecil. Terkadang, kondisi demikian membuat kita terlalu mudah memvonis
buruk padahal hanya berdasarkan satu kali kegagalan.